Darurat sampah sebenarnya merupakan permasalahan yang sudah terjadi sebelum adanya kebijakan penutupan TPA Piyungan. Realita menunjukkan bahwa banyak yang tidak peduli terkait dengan pemilahan sampah sehingga sampah tercampur antara organik dan anorganik, padahal tentu proses penanganannya akan berbeda. Hal tersebut yang membuat KKN-PPM UGM Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman mencetuskan “Gerakan Revolusi Sampah”.
Program revolusi sampah diperuntukkan secara umum bagi seluruh masyarakat yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, namun lokasi awal untuk pelaksanaan program tersebut adalah di Desa Widodomartani dan Desa Wedomartani Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman. Pembuatan video program revolusi sampah dilakukan di TPS 3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle) yang dirangkai menjadi sebuah cerita dengan tujuan menyadarkan semuanya bahwa betapa pentingnya mulai peduli terhadap sampah.
Sampah tidak akan hilang begitu saja dengan dibuang kemudian diambil oleh petugas. Oleh karena itu, masyarakat harus tahu potensi bahaya untuk ke depannya mengingat ada kasus terdekat adalah kebakaran yang terjadi di Bandung. Gerakan revolusi sampah merupakan siklus kegiatan yang banyak cakupannya yaitu terkait pembuatan kompos dan kerja sama dengan BLH terkait dengan pemilahan sampah, pemberian fasilitas dan pemberian tempat. Tujuan utamanya adalah menggerakkan organisasi untuk mengajak komunitas-komunitas yang ada di Desa Widodomartani dan Desa Wedomartani untuk mengelola sampah bersama yang kampanyenya dibuatkan dalam ilustrasi sebuah video.
Ketika sampah sudah dipisahkan antara organik dan anorganik maka bisa melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk pengolahannya. Sampah anorganik bisa bekerja sama dengan bank sampah, sedangkan untuk sampah organik bisa diolah sendiri menjadi pupuk kompos seperti komposter dan losida yang dilakukan dengan berbagai cara. Jika sampah organik akan lebih cepat terurai dikarenakan ada organisme yang mensintesis atau menguraikannya asalkan harus dipisahkan dari sampah anorganik seperti plastik. Jika sampah organik terjebak di dalam plastik akan menjadikan volume sampah yang semakin menumpuk dan susah untuk dipilah serta akan menimbulkan bau. Sampah organik juga bisa digunakan untuk pakan maggot, kemudian maggot tersebut dapat digunakan untuk pakan ternak karena kaya akan protein.
Permasalahan sampah selalu menjadi topik yang belum terselesaikan dikarenakan belum jelas penanganan di hulu dan hilirnya. Hal ini dimulai dengan sampah dari hulu yang tidak dipilah kemudian ketika sampai di hilir hanya ditumpuk saja. Rarastoeti Pratiwi selaku DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) KKN-PPM UGM di Kecamatan Ngemplak mengajak mahasiswanya untuk memilah, kerena akan memudahkan pengelolaan pada hilirnya. Hal tersebut diungkapkan bahwa permasalahan hulu itu adalah kesadaran masyarakat yang artinya permasalahan sampah diawali dengan membuang sampah di jalan-jalan sehingga mengakibatkan sampah tercampur yang mengakibatkan sulit dikelola dan menimbulkan bau.
Rarastoeti Pratiwi mengapresiasi gerakan-gerakan yang perhatian terhadap darurat sampah seperti Sonjo (Sambatan Jogja) dan volunteer. Pada kegiatannya dilakukan sharing tentang berbagai macam cara untuk mengelola sampah, baik organik dan anorganik. Gerakan tersebut sudah dibuatkan dalam satu grup whatsapp yang anggotanya hampir 500 orang yang terdiri dari akademisi, TPS3R, dan birokrat serta kepala desa. Gerakan kepedulian terhadap sampah diperlukan media sosial seperti instagram agar mampu menjangkau anak muda supaya lebih peduli.
“Saya mempunyai pengalaman tinggal di luar negeri dan beberapa negara sudah memilah sampah. Bahkan tahun 90-an di Jepang ketika saya membuang sampah dengan tidak memilahnya maka tidak diambil oleh petugas. Selain itu di Malaysia juga ada jadwal memilah dan Singapura malah lebih ketat sekali. Pada kegiatan pemilahan sampah Indonesia belum mampu, makanya diadakannya revolusi sampah sebagai negara yang beradab menuju negara maju 2050”, tutupnya.
Penulis: Rifai