Refleksi 60 Tahun Integrasi Papua: Menemukan Jalan Damai dari Akar Rumput

Gugus Tugas Papua (GTP) Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan Papua Strategic Policy Forum ke-14, Rabu (10/5), dengan mengusung tema “Refleksi 60 Tahun Integrasi Papua: Menemukan Jalan Damai dari Akar Rumput”.

PSPF kali ini berupaya untuk mencari upaya dan pendekatan dari level akar rumput guna mendorong perdamaian. Acara ini diselenggarakan dalam rangka merefleksikan integrasi Papua ke NKRI pada 1 Mei 1963 atau sudah berlangsung selama 60 tahun.

Dalam sambutannya Sekretaris Gugus Tugas Papua, Dr. Arie Ruhyanto, mengatakan bahwa proses pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua yang semakin intensif juga diikuti dengan meningkatnya konflik dan tindakan kekerasan. Banyaknya korban, baik dari aparat keamanan maupun warga sipil, menunjukkan bahwa perlu ada refleksi ulang terhadap  pendekatan yang dilakukan guna mencapai perdamaian di tanah Papua.

“Konflik yang terjadi di Papua bukan semata-mata persoalan vertikal seperti separatisme dan isu kemerdekaan, namun juga isu horizontal seperti segregasi antar kelompok masyarakat dan kekerasan berbasis identitas antara orang asli Papua dan pendatang,” terang Arie.

Sekretaris DPKK Sinode GKI di Tanah Papua, Pendeta Leonora Dora Balubun, S.Th., M.M. yang sudah puluhan tahun melayani umat di Tanah Papua, menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan untuk menghindari terjadinya konflik.

Ia menyebut bahwa negara juga perlu melibatkan gereja yang sudah dengan sangat baik menjadi garda terdepan perawat perdamaian di Papua dalam proses pengambilan kebijakan, bukan datang ke gereja setelah eskalasi konflik meningkat.

“Suara gereja sangat didengar oleh masyarakat sehingga kunci perdamaian adalah kalau pemerintah bersama gereja dan tokoh muslim papua dapat bekerja bersama. Gereja merupakan mitra yang sejajar dengan pemerintah,” ucapnya.

Lexie Durimalang, S.E., M.M., Ketua Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) Provinsi Papua Barat Daya, juga memberikan perspektifnya sebagai masyarakat pendatang. Menurutnya, membangun keharmonisan adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap pendatang di Tanah Papua agar tercipta persaudaraan yang rukun. “Pendekatan paling baik untuk perdamaian adalah melalui tokoh masyarakat dan agama,” kata Lexie.

Sejumlah upaya yang telah dilakukan kelompok masyarakat pendatang adalah pelibatan masyarakat lokal pada kegiatan yang diselenggarakan oleh warga pendatang dan penghargaan terhadap tradisi masyarakat lokal sehingga kolaborasi dapat tercipta.

Dr. Laksmi Adriani Savitri, Antropolog UGM dan penulis buku “Menegarakan Tanah dan Darah Papua”, memaparkan bahwa permasalahan utama yang terjadi di Papua adalah kekerasan struktural dan budaya kolonial. Proses akulturasi masyarakat pendatang dengan orang asli Papua menurutnya berjalan dengan lancar, bahkan proses ini sudah dimulai sejak tahun 1900-an awal ditandai dengan adanya akulturasi budaya pertanian dari Jawa.

“Itu bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi merasa dihargai karena merasa sederajat menuju modernitas. Ini proses ambivalensi dan mimikri,” terangnya.

Ia melanjutkan, perdamaian di akar rumput Papua bisa dimulai dengan mengikis stereotyping dan kecurigaan. Transformasi sosial di Papua harus dilakukan dengan pendekatan yang memberdayakan ke pemberdayaan yang mendekatkan.

Acara PSPF merupakan agenda rutin yang dilaksanakan oleh GTP UGM dan PPKK FISIPOL UGM dengan mengangkat berbagai tajuk aktual mengenai Papua. Diskusi tersebut dihadiri sedikitnya 100 peserta melalui Zoom dan ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Gugus Tugas Papua UGM.

Penulis: Gloria

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Accessibility Toolbar